KH. Musthofa Bisri

Rangkuman Buku “Tafsir Terhadap Puisi Sufi A. Mustafa Bisri, Gandrung Cinta” Karya Abdul Wachid B.S

Buku puisi Gandrung dengan label “sajak-sajak cinta” di bagian cover depan buku ini mengundang perhatian orang, apalagi desain cover dan grafis, ilustrasi gambar cover dan di setiap halaman sajak, semua itu seakan menyaran seperti catatan harian seorang pemuda atau gadis yang sedang dimabuk cinta. Dalam buku sajak-sajak cinta Gandrung, pembaca akan banyak menjumpai ungkapan–ungkapan dan perilaku orang yang sedang “gandrung”. Yaitu cinta kepayang seorang laki-laki kepada perempuan.
Memang, puisi merupakan suatu ungkapan bahasa yang memiliki makna lain, ada ketaklangsungan ekspresi (Riffaterre,1978:1). Oleh sebab itu, menjadi dimungkinkan pembaca gGandrung memiliki tafsir yang berlainan satu dengan yang lainnya sekalipun bahasa sajak yang digunakan oleh penyairnya sudah plastis, dan metaforanya menyarankan bahasa sajak yang  terang. Berbagai symbol dalam sajak-sajak cinta Gandrung , memang mencitrakan percintaan lelaki dan perempuan pada tataran arti (meaning), tetapi pada tataran makna(signifie) sajak secara utuh hal itu belum tentu demikian. Hal itu sebab dalam sajak-sajak cinta Gandrung banyak tersedia symbol yang dapat dicara reiferensi tradisi estetik dan etikanya kepada perpuisian yang ditulis oleh para sufi penyair. Dengan begitu, disaat pembaca membaca dan menilai sajak-sajak cinta Gandrung ini dimungkinkan terjadi perbedaan tafsir sebab mencitrakan hubungan cinta lelaki dan perempuan.
Masalah yang kemudian muncul , apa dan bagaimana pencitraan cinta erotic itu menjadi fenomena perpuisian Gandrung karya A. Mustafa Bisri ? Mengapa pencitraan cinta erotic itu menjadi pilihan ekspresi perpuisiannya? Untuk menjawab persoalan-persoalan ini, sebelumnya perlu diberi gambaran tentang tradisi pencitraan cinta erotic dalam perpuisian sufisme agar menjadi perbandingan sekaligus ancang-ancang untuk menilai sajak-sajak cinta Gandrung.

  1. A.    Citraan Cinta Erotik di antara Estetika dan Etika Cinta Ilahiah dalam Puisi Sufi-Penyair
Tentang pemahaman cinta seorang sufi kepada Tuhan, ada kesejajaran pandangan Ruzbihan Baqli dan Ja’far al-Shidiq bahwa pada saat hubungan seorang sufi dan Tuhan di dalam pengalaman mistik , pada saat itulah seorang sufi mengalami ekstase spiritual yang memunculkan ungkapan-ungkapan eskatis (syathiyyah). Syahiyyah merupakan suatu bentuk pengalaman keruhanian seorang sufi yang telah wajd, yaitu seorang yang telah mencapai ekstase mistik dalam peringkatnya yang tinggi. Keadaan-keadaan ruhani yang dicapainya memberi peluang kepadanya untuk menangkap suara yang timbul dari kedalaman pengalaman kalbunya berupa ucapan-ucapan yang dalam.
Pengalaman syatiyyah itu pada tingkat umum dapat disamakan dengan pengalaman religious, yang kenyataannya tidak pernah bisa ditunjuk secara langsung sebab bukan pengalaman inderawi. Sementara itu, bahasa memiliki keterbatasan , hanya mengungkap apa yang menjadi realitas inderawi. Karenanyan, ada realitas yang sapat disentuh melalui bahasa, ada yang tidak. Oleh sebab itu, bahasa religious mempunyai logika tersendiri yakni bersifat analogi, sebagian sama dan sebagian berbeda dengan bahasa dan situasi manusia sehari-hari. Pengalaman religious itu bersifat konotatif yakni pengalaman yang dialami secara langsung antara subyek dan obyek, berlangsung dalam taraf tak sadar, karenya berlangsung tanpa bahasa. Namun, di saat subjek membahaskan pengalaman religiusnya, maka aspek konotatif itu masuk ke aspek reflektif yakni pengalaman religious yang telah terabstrakan ke pola inderawi. Perpindahan ini dalam bahasa religious berlangsung dengan jalan analogi yakni melalui bahasa puisi (Wachid B.S.,2002:172)
Oleh sebab itu, tiada pengalaman religious yang dapat diungkapkan selain melalui bahasa puisi atau setidaknya bahasa simbolik. Demikian pula halnya dengan pengalaman syathiyyah yang dialami oleh para sufi, yang pencapaian keadaan ruhani tersebut memberi peluang kepadanya untuk menangkap suara yang timbuk dari kedalaman kalbuny berupa “ucapan-ucapan yang dalam” Bagaimana percintaan mistik itu diungkapkan melalui “ucapan yang dalam” atau ungkapan eskatis itu terekspresikan melalui bentuk-bentuk majas atau analogi-analogi. Mengapa hal tersebut demikian? Ibn ‘Arabi menjawab bahwa “Ahli ma’rifah tidak dapat menyampaikan perasaan mereka kepada orang lain, meeka hanya dapat menyatakannya secara simbolik kepada mereka yang memiliki pengalaman serupa”.
Kenyataan bahwa pengalaman religious itu selalu memerlukan bahasa simbolik juga digunakan di dalam Al-Quran. Menurut Muhammad Iqbal, Al-Quran menggunakan bahasa figuratif atau majas tatkala mengungkapkan pengalaman Nabi Muhammad SAW ketika beliau mi’raj ke langit lapis tujuh dan berdialog dengan Tuhan di sSidrat al-Muntaha. Banyak sekali ungkapan al-Qur’an yang figurative atau majas di saat menyatakan pengalaman ketuhanan, sebagaimana di dalam surat an-Nuur(24;35).
Di dalam puisi yang ditulis para sufi, majas serupa itu menandai kedekatan hubungan antara manusia dengan penciptanya. Majas-majas tersebut sangatlah beragam. Sekalipun demikian, menurut Abdul Hadi W.M. bahwa semua pencapaian keindahan itu berkisar kepada keindahan Yang Satu, kehadiran spiritual-Nya dalam objek yang beraneka ragam di alam syahadah dan afinitas rahasia-Nya dalam jiwa manusia. Di sinilah pentingnya puisi di saat meneliti pandangan sufisme sebab puisi menjadi media ekdpresi terpenting bagi sufi dalam menyampaikan pengalaman cinta ilahiahnya. Menurut Seyyed Hossein Nasr, para sufi menyakini bahwa kekuatan bahasa puisi dapat membawa seseorang menuju alam hakikat atau mengalami penyatuan mistik dengan Tuhan.
Sekalipun demikian, ada juga pengalaman mistik yang diungkapkan dengan pencitraan kemabukan terhadap seorang lelaki, sebagaimana dalam puisi yang ditulis oleh wanita sufi-penyair, Rabi’ah al-Adawiyah. Namun, pada intinya semua pencitraan cinta erotik itu bermaksud sama yakni dijadikan penanda dari pengalaman mistik, suatu upaya untuk mengkonkretkan pengalaman mistik yang semula abstrak itu ke dalam suatu pencitraan yang konkret yang bias menyentuh indra kemanusiaan kita. Denan begitu, gambaran dari birahi cinta (mahabbah) dan kerinduan (syawq) seorang sufi kepada Tuhannya akan dapat dibayangkan,dirasakan dan dipikirkan oleh pembacanya, yang boleh jadi adalah para muridnya,maupun pembaca lain.
 B. A. Mustofa Bisri : Latar Belakang Intelektual Keagamaan dan Karyanya
A. Mustofa Bisri adalah seorang yang menghargai proses, baginya menghargai proses adalah hal penting dalam hidup. Proseslah yang menguji bagi tegaknya kesabaran dan shalat seseorang. A. Mustofa Bisri sebagai orang yang lahir dan dibesarkan , dan sampai hari ini hidup ditengah masyarakat santri, tentu terinspirasi oleh kata dan perilaku Nabi Muhammad SAW bahwa “ Siapa yang sungguh-sungguh , dia yang akan mendapatkan”. Karenanya, tidak menjadi soal sekalipun masyarakat belum mengenal karyanya untuk sekian lama, padahal A. Mustofa Bisri menulis sejak kuliah di Dakultas Al-Qismul’Ali Fiddirasatil Islamiyah wal’Arabiyah di Universitas Al-Azhar,Kairo,Mesir.(1970). A. Mustofa Bisri menulis puisi dan melukis sejak perkuliahannya itu, tetapi karyanya baru dikenal oleh masyarakat baru di tahun 1980-an.
Di Al-Azhar, A. Mustofa Bisri dan Abdurrahman Wahid belajar di Fakultas yang sama, yang materi kuliahnya sebagaian besar mata kuliah agama. Menurut A.Mustofa Bisri , Abdurrahman Wahid itu sangatlah cerdas. Bahkan, A. Mustofa Bisri sendiri merasa bakatnya berkeseniannya terbentuk sebab belajar dari sikap-sikap Abdurrahman Wahid selama di Kairo. Disamping itu, Abdirrahman Wahid-lah orang pertama yang menghargai lukisan A. Mustofa Bisri , dengan memintanya menjadi illustrator majalah yang dikelola Abdrurahman Wahid.
Dari sebagai illustrator majalah yang dikelola Abdurrahman Wahid itu, A.Mustofa Bisri terus melukis. Sampai suatu saat ia menemukan medium unik, yaitu melukis dengan kelelet rokok. Memang , A.Mustofa Bisri seorang perokok berat sejak remaja. Lukisan A. Mustofa Bisri sebagian besar berupa kaligrafi, sebagian lain lukisan kelelet itu. Lukisan A. Mustofa Bisri banyak diminati karena kekuatan ekspresi A. Mustofa Bisri terdapat pada garis grafis. Kesannya ritmik menuju dzikir , beda dengan kaligrafi. Sebagian besar kaligrafi yang ada terkesan tulisan yang diindah-indahkan.
A. Mustofa Bisri dikenal secara luas pada tahun 1987 tatkala Abdurrahman Wahid dan Taufik Ismail menyelenggarakan “Malam Solidaritas Palestina”. Taufik Ismail menginginkan agar yang membaca puisi dalam bahasa aslinya, Arab, baru kemudian terjemahannya. A. Mustofa Bisri disurati oleh Abdurrahman Wahid . Ternyata penampolan pertama A. Mustofa Bisri itu dinilai sukses oleh para penyair dan media massa. Semenjak itu,A. Mustofa Bisri menjadi sangat produktif dalam menulis puisi melebihi penyair ternama Indonesia.
Tema puisi yang ditulis A.Mustofa Bisri sangatlah beragam, dari tema yang melangit sampai tema yang membumi, dari tema keruhanian hingga kejasmanian, dari tema social ke individual, dari tema yang berkaitan dengan jagad mikrokosmos sampai kepada jagad makrokosmos. Namun demikian, semua tema itu ujungnya dapat disimpulkan kepada dua hal,u\yakni mengurai hubungan antar manusia sekaligus hubungan dengan Tuhan. Konsep hubungan antara manusia dan manusia dengan Tuhan itu dalam perpuisian A.Mustofa Bisri merupakan realisasi dari nilai Islam,Iman, dan Ihsan. Tiga hal tersebut merupakan tiga domain dasar religiusitas Islam. Dalam perpuisian A. Mustofa Bisri , realisasi dari nilai Islam, Iman, dan ihsan berbagai peristiwa yang dijadikan wadah dari ruh ketiga domain itu, di antaranya melalui perluasan makna terhadap shalat, seperti dalam sajak berikut;
Sujud
Bagaimana kau hendak bersujud pasrah
Sedang wajahmu yang bersih sunringah
Keningmu yang mulia dan indah
Begitu pongah minta sajadah
Agar tak menyentuh tanah
Apakah kau melihatnya
Seperti iblis saat menolak
Menyembah bapamu
Dengan congkak
Tanah hanya patut diinjak
Tanpa kencing dan berak
Membuang ludah tanpa dahak
Atau paling jauh hanya lahan pemanjaan
Nafsu serakah dan tamak?
Apakah kau lupa
Bahwa tanah adalah bapa
Dari mana ibumu dilahirkan
Tanah adalah ibu
Yang menyusuimu
Dan memberi makan
Tanah adalah kawan
Yang memelukmu dalam kesendirian
Dalam perjalanan panjang menuju keabadian?
Singkirkan saja sajadah mahalmu
Ratakan keningmu
Ratakan heningmu
Tanahkan wajahmu
Pasrahkan jiwamu
Biarlah rahmat agung
Allah membelaimu
Dan terbanglah,kekasih
Sajak “Sujud”tersebut dapat dijadikan sajak kunci untuk memasuki pintu makna perpuisian A. Mustofa Bisri kaitannya dengan islam,iman,dan ihsan. “Sujud” merupakan hakikat dari shalat, dan dalam sudut pandang Islam amatlah vital. Esensi shalat permohonan yang merupakan sikap penghambaan kepada Allah,sedangkan Allah hadir melalui hati secara ihsan karenanya,”pasrahkan jiwamu,biarlah rahmat agung Allah membelaimu dan terbanglah,kekasih,”ungkap A. Mustofa Bisri.
Puisi A. Mustpfa Bisri memilki kesamaan tematik dengan puisi tradisi sufi tentang kerinduan,cinta,kemabukan mistik,tingkatan-tingkatan ruhani menuju makrifat, dan penyatuan cinta dalam fana. Hal tersebut diungkapkan melalui tamsil percintaan pria dan wanita, tetapi yang dimaksudkan adalah Allah Yang Maha Indah. Sebagai puisi yang menggali pengalaman estetik sekaligus pengalaman keruhanian yang didasari oleh cinta dan kasih saying kepada Allah, puisi A. Mustofa Bisri mendasarkan setiap pandangannya bahwa  keindahan Yang Maha Esa memanifestasikan diri dalam segala ciptaan-Nya, yang terbentang di semesta alam,tak terkecuali di dalam diri manusia.
Pandangan puisi A.Mustofa Bisri berfokus kepada keindahan, cinta, dan kasih saying Allah, yang bersetuju kepada pandangan tasawuf Rabi’ah al-Adawiyah. Akan tetapi, pandangan tasawufnya tentang keindahan universial juga dipengaruhi Ibn’Arabi, yaitu melakukan penyempitan wujud bahwa sifat jamailyah Allah yang paling lengkap dan sempurna ada pada diri wanita. Karenanya, A. Mustofa Bisri ketika sampai pada tingkatan ruhani yang tinggi, justru menjelang fana dipalingkan wajah keruhaniannya kepada “Wanita Cantik Sekali di Multazam”. Puisi A.Mustofa Bisri memberikan tangga-tangga ruhani yang meninggi menuju Allah. Tangga-tangga ruhani ini merupakan tingkatan-tingkatan ruhani yang saling berhubungan dan saling melahirkan situasi ruhani sampao ke tingkatan tawakal,melalui tahlil ke tasbih ke tahmid ke takbir ke istigfar ke syukur ke khauf ke raja dank e tawakal sehingga menuju fana dan keabadian. Dengan begitu, puisi A. Mustofa Bisri menempatkan tasawuf sebagai jalan yang meninggi,yang dijiwai pleh syahadat. Karena itu, puisinya diilhami ayat-ayat al-Quran dalam tafsir tasawuf, disamping hadis qudsi sehingga bermakna keruhanian sekaligus berdimensi moral social.

sumber: http://pu3galery.wordpress.com/2011/07/01/rangkuman-buku-%E2%80%9Ctafsir-terhadap-puisi-sufi-a-mustafa-bisri-gandrung-cinta%E2%80%9D-karya-abdul-wachid-b-s/

0 Comentarios

Follow Me On Instagram